Tuesday, November 16, 2010

RSBI PUNYA 12 TITIK LEMAH

Selain dari pemerintah, pelaksanaan program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sebagai jembatan menuju SBI mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak. Terutama dari para pengamat pendidikan. Salah seorang yang memberikan tanggapan pedas mengenai pelaksanaan program RSBI adalah Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma. ”Hentikan aja program itu. Nggak mungkin berhasil,” tegas Satria ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (18/7). Satria telah mengamati pelaksanaan program RSBI sejak awal. Menurut hasil pengamatannya, ada 12 titik yang menjadi kelemahan program yang sejatinya bertujuan membuat output pendidikan di Indonesia berkualitas internasional tersebut. Kelemahan pertama RSBI, menurut Satria, ada pada konsepnya yang lemah dan tidak didahului riset yang mendalam. Satria menyoroti orientasi SBI = SNP + X, yang menurut dirinya tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas (SNP = standar nasional pendidikan). Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang disebut sebagai ”X”. Apakah itu standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE, atau TOEFL/TOEIC, ataukah ISO. ”Dikdasmen sendiri tidak paham apa arti X itu,” ucap Satria. Model pengembangan RSBI yang dicanangkan pemerintah juga dinilai salah. Dikdasmen membuat empat rumusan model pembinaan SBI, yakni model sekolah baru (newly developed), model pengembangan pada sekolah yang telah ada (existing school), model terpadu, dan model kemitraan. Padahal, sebenarnya hanya ada dua model, yakni model sekolah baru dan model sekolah yang telah ada, sedangkan yang lain hanya teknis pelaksanaannya. Selama ini Dikdasmen melaksanakan model kedua. Padahal, buku panduan penyelenggaraan RSBI mengacu pada model pertama. Artinya, model yang dikembangkan sekarang tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI, yang model pengembangannya mengacu pada model pendirian sekolah baru. Kritik mendasar lain ditujukan pada penggunaan bahasa Inggris di RSBI. Menurut Satria, ada kesalahan asumsi bahwa di SBI itu kegiatan belajar mengajar (KBM)-nya harus dilakukan dalam bahasa Inggris, dengan media pendidikan canggih, seperti laptop dan LCD. Padahal, di negara-negara maju, seperti Jepang, Prancis, dan Jerman, tidak perlu mengajarkan materi dalam bahasa Inggris untuk mencapai standar internasional. ”Kurikulumnya yang harus internasional atau tidak di bawah kualitas kurikulum negara yang sudah maju. Pendidikan itu juga bukan masalah alat, tapi proses,” tuturnya. Konsep RSBI juga dinilai berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Pengajar hard science (matematika dan IPA) harus memiliki TOEFL lebih dari 500. Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. ”Jadi, keliru kalau mengukur keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional dengan TOEFL. Yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya. Bukan TOEFL yang lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang,” tegas Satria. Penggunaan bahasa Inggris dalam penyampaian materi matematika dan IPA dinilai akan menghambat pemahaman materi oleh siswa. Sebab, masyarakat Indonesia umumnya tidak fasih berbahasa Inggris. Maka, ketika pelajaran diberikan dalam bahasa Inggris, otomatis siswa butuh waktu lebih lama untuk menguasai sehingga malah mengacaukan KBM. Peluang guru-guru RSBI dalam menguasai pemberian materi dalam bahasa Inggris juga disorot Satria. Menurut dia, hampir mustahil membuat guru-guru, yang pada kenyataannya di daerah-daerah pun belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih untuk mengajar, mengajar dalam bahasa Inggris. Apalagi untuk memperoleh nilai TOEFL lebih dari 500, seperti yang ada dalam panduan penyelenggaraan RSBI. Berbagai hal yang menjadi panduan penyelenggaraan RSBI juga membuat penyelenggara melakukan berbagai ”kesalahan” lain. Terutama adanya anggapan bahwa RSBI hanya untuk siswa yang cerdas. Buktinya, untuk masuk RSBI, siswa harus mengikuti tes tertentu. Padahal, seharusnya RSBI terbuka untuk siswa dengan tingkat kecerdasan rata-rata sampai yang cerdas. Bukan hanya untuk siswa yang menonjol secara intelektual. Media pendidikan yang canggih di RSBI membuat sekolah harus mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar sehingga memberikan legitimasi bagi sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Akibat tingginya cost itu, biaya pendidikan di RSBI pun lebih mahal daripada di sekolah reguler. Fasilitas dan sejumlah requirement untuk siswa RSBI itu juga menciptakan berbagai stigma di masyarakat. RSBI menciptakan eksklusivitas dan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki anak-anak pintar dan dari kalangan menengah ke atas atau yang mampu membayar biaya pendidikan lebih tinggi. Kacaunya lagi, program tersebut juga telah memberikan persepsi yang keliru kepada orang tua, siswa, dan masyarakat. Yakni, masuk RSBI memberikan kebanggaan dan gengsi, maka orang tua rela melakukan apa saja agar anaknya masuk RSBI. Padahal, mereka belum tentu punya biaya untuk mengambil sertifikasi luar negeri atau mengirim anaknya sekolah ke luar negeri. ”Orang tua hanya membeli label internasionalnya itu. Mereka tidak tahu isinya sebenarnya apa,” cetus Satria. Selain itu, dia mengajak untuk berkaca pada kegagalan Malaysia melakukan program internasional sejenis yang disebut pembelajaran sains dan matematik dalam bahasa Inggeris (PPSMI). Sejak 2003 sekolah-sekolah di Malaysia melakukan pengajaran sains dan matematika dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Hasilnya, yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota. Untuk sekolah lain, terjadi degradasi mutu. Karena itu, program tersebut akan dicabut pada 2012. ”Padahal, Malaysia bekas jajahan Inggris dan bahasa Inggris menjadi bahasa kedua di sana. Bayangkan apa yang terjadi dengan Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya tidak fasih berbahasa Inggris?” katanya. Karena faktor-faktor itulah, Satria berani mengatakan bahwa program RSBI tidak akan berhasil diberlakukan di Indonesia. Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan? Jawabannya ialah meningkatkan kualitas guru dan fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah secara merata. ”Hanya dengan melakukan itu saja, kualitas pendidikan kita sudah bisa meningkat pesat,” tandasnya. source:http://groups.yahoo.com/group/dikmenjur/message/78823

SEGERA EVALUASI SBI dan RSBI

Berawal dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, sekolah-sekolah rintisan internasional di berbagai jenjang pendidikan menjamur di Tanah Air. Belakangan program tersebut tidak saja dikembangkan di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (sekolah), tetapi juga lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah). Jika tidak salah pada tahun 2010 ini saja Kementerian Agama mencanangkan dua belas Madrasah Aliyah sebagai Rintisan Madrasah Bertaraf Internasional. Dalihnya jelas, yakni untuk menjalankan amanah undang-undang tersebut. Tak ketinggalan, sekolah-sekolah pinggriran pun juga melabel diri mereka sebagai sekolah bertaraf, setidaknya rintisan, internasional. Dalam waktu singkat jumlah sekolah dan madrasah yang merintis program internasional sangat banyak.

Setelah tujuh tahun sejak peraturan yang memayungi pendirian sekolah bertaraf internasional itu diundangkan, kini sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh tentang kebijakan tersebut. Sebab, kenyataannya pemahaman tentang visi, tujuan, dan manajemen sekolah bertaraf internasional sebagaimana maksud semula undang-undang tidak sepenuhnya dipahami baik oleh pihak sekolah maupun pemerintah daerah. Akibatnya, pelaksanaannya telah melenceng agak jauh dari maksud semula. Ini bisa dilihat dari kesalahan dalam mengartikan ‘internasional’.

Konsep internasionalisasi pendidikan bukan sekadar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi juga mulai sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional. Karena itu, jika berbahasa Inggris dijadikan satu-satunya tanda sudah berinternasional, maka sungguh konyol. Semua pihak hanya berkonsentrasi bagaimana meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Para guru sibuk belajar bahasa Inggris agar bisa mengajar di kelas internasional karena merasa lebih bergengsi dan tentu ada tambahan honorarium yang berbeda dengan yang tidak mengajar di kelas internasional. Sedangkan para siswa lebih berkonsentrasi belajar bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Karena itu, tak mengherankan jika matapelajaran bahasa Indonesia pada Ujian Nasional 2010 sangat jeblok. Nilai matapelajaran bahasa Inggris lebih baik daripada nilai bahasa Indonesia. Sebuah ironi terjadi di dunia pendidikan kita. Bahasa asing lebih dikuasai daripada bahasa nasional yang mestinya dijunjung tinggi.

Yang lebih parah lagi adalah terjadinya pungutan dana yang jauh dari ukuran kemampuan masyarakat pada umumnya. Sekadar ilustrasi di sebuah sekolah favorit di sebuah kota ukuran sedang ada orangtua siswa yang sanggup membayar uang masuk sebesar Rp. 25 juta rupiah jika anaknya diterima di kelas program internasional. Saya kira untuk ukuran masyarakat kita uang sebesar untuk beaya masuk SMA itu jauh di atas kemampuan rata-rata masyarakat kita. Padahal, untuk beaya masuk perguruan tinggi saja tidak sebesar itu.

Tak pelak lagi pungutan tersebut mengundang reaksi dari berbagai pihak akhir-akhir ini sehingga program internasionalisasi pendidikan tak ubahnya merupakan komersialisasi pendidikan. Padahal, dari pengamatan sekilas yang disebut kelas program internasional tersebut sama sekali tak ada bedanya dengan kelas-kelas lain, kecuali untuk mata pelajaran IPA disampaikan dalam bahasa Inggris oleh guru yang baru saja kursus bahasa Inggris dengan kemampuan pas-pasan. Akhirnya yang terjadi bukan mengajarkan matapelajaran IPA dalam bahasa Inggris, melainkan mengajar bahasa Inggris (not teaching physics in English, but teaching English). Jika terpaksa menyampaikan matapelajaran IPA tersebut dalam bahasa Inggris, siswa juga tidak paham sebab bahasa Inggris tidak komunikatif. Tentu semua paham bahwa mengajar bahasa Inggris tidak sama dengan mengajar dalam bahasa Inggris.

Latar belakang pendirian sekolah bertaraf internasional adalah semakin ketatnya kehidupan di era globalisasi saat ini. Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah konkret menghadapi kompetisi global tersebut yakni membekali siswa dengan kemampuan kompetitif yang tinggi sehingga mampu bersaing di kancah global. Karena itu lahirlah undang-undang yang memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah yang sudah mapan untuk mengembangkan diri menuju sekolah internasional.

Ukuran mapan atau tidak ditakar dari pemenuhan delapan komponen standar nasional pendidikan, mulai dari isi, proses, lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, manajemen, keuangan, hingga evaluasi. Jika delapan komponen standar itu terpenuhi, maka sekolah bisa mengembangkannya menuju rintisan internasional dengan memfokuskan pada pendalaman, pengembangan, dan perluasan isi sehingga lulusanya memiliki daya saing tinggi. Singkatnya SBI adalah SNP + X. Kenyataannya yang terjadi adalah sekolah-sekolah yang masih jauh dari pemenuhan delapan standar nasional pendidikan itu dicanangkan atau mencanangkan diri sebagai sekolah internasional. Bisa dibayangkan hasilnya seperti apa.

Uniknya lagi jika ada pihak yang mengkritisi statusnya sebagai sekolah bertaraf internasional, pengelola umumnya menjawab ‘sebagai rintisan’, sehingga sekolah itu berlabel RSBI. Jadi belum bertaraf internasional. Kata ‘rintisan’ ternyata cukup ampuh untuk menarik minat masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di sekolah tersebut. Dalam benak pengelola, karena masih berstatus ‘rintisan’, maka kalaupun kualitasnya belum sepadan yang diharapkan sebagai sekolah internasional, mohon semua pihak memakluminya. Tetapi pada saat yang sama, karena masih tahap merintis menuju yang sesungguhnya diperlukan dana cukup besar. Karena itu, orangtua yang menyekolahkan anaknya di program rintisan itu mesti rela mengeluarkan beaya jutaan rupiah yang hasil dan akuntabilitasnya tidak jelas.

Dari gambaran di atas, kini sudah saatnya kebijakan internasionalisasi pendidikan segera dievaluasi oleh pemerintah bersama wakil rakyat (DPR). Semua sekolah dan madrasah yang selama ini melabel diri mereka sebagai Sekokah/Madrasah Bertaraf Internasional atau Rintisan Sekolah/Madrasah Internasional diminta akuntabilitasnya baik dari sisi akademik maupun keuangannya. Dari sisi akademik, dicek apa saja produk akademik yang telah dihasilkan dari program tersebut, dan dari sisi keuangan dicek untuk apa saja dana yang diserap dari masyarakat dalam jumlah yang cukup besar itu.

Dari evaluasi menyeluruh itu akan bisa diketahui sekolah-sekolah yang memang layak dan berpotensi layak menuju internasional untuk diteruskan dengan pembinaan intensif dan dukungan dana dari pemerintah sehingga tidak menarik dana dari masyarakat secara berlebihan. Sesuai undang-undang pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, menarik dana besar-besaran dari masyarakat untuk program internasionalisasi sekolah bertentangan dengan undang-undang.

Sementara itu, jika dalam evaluasi ditemukan sekolah yang belum layak mengembangkan program internasionalisasi pendidikan segera dikembalikan ke status semula sebagai Sekolah Nasional. Menjadi sekolah nasional dengan kualitas unggul tidak kalah gengsi dan akan jauh lebih bermartabat daripada melabel diri dengan kata ‘internasional’ tetapi tidak berkualitas dan hanya dipakai sebagai kedok untuk memungut dana masyarakat secara berlebihan. Muncul kekhawatiran jika tidak segera ada evaluasi dan program sejenis terus tumbuh, maka akan terjadi komersialisasi pendidikan yang luar biasa. Korbannya adalah masyarakat yang tidak berkantong tebal.

Perlu disadari oleh semua bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan kebutuhan sangat mendasar setiap warga negara. Karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada semua warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan bukan monopoli anggota masyarakat yang berduit. Ada gejala program internasionalisasi pendidikan di sekolah-sekolah kita berpotensi melahirkan ketidakadilan memperoleh pendidikan.

source: http://mudjiarahardjo.com/artikel/246-segera-evaluasi-sbi-dan-rsbi.html

INTERSTING FOR STUDENTS

Ternyata banyak cara belajar yang menyenangkan. Tidak harus berkerut dahi, garuk-garuk kepala yang tidak gatal, ucek-ucek mata padahal tidak kelilipan, ngemut pen or pensil padahal sadar bahwa itu bukan permen, mendesis padahal tidak kepedasan, berkeringat padahal tidak kepanasan bahkan marah tanpa ada masalah...... dan banyak lagi expresi yang tidak perlu ada pada saat menghadapi pelajaran.... Coba saja Link disini untuk mendapatkan cara belajar yang tidak menekan bahkan menyenangkan.... Follow these LINK 1. Learning for Fun dan 2. ESL / EFL Sites

PRO-KONTRA UJIAN NASIONAL

DPR Minta Penjelasan MA "Jika sebagai alat ukur kualitas pendidikan dan memetakan mutu, setuju." JAKARTA - Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat hari ini direncanakan melakukan rapat konsultasi dengan Mahkamah Agung dan Kementerian Pendidikan Nasional untuk meminta penjelasan tentang persoalan ujian nasional, yung akan diselenggarakan Maret mendatang.

Ketua Panitia Kerja Ujian Nasional DPR Rully Chairul Azwar mengatakan rapat konsultasi diadakan setelah keluarnya amar putusan Mahkamah Agung soal ujian nasional pada 14 September 2009. Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung memenangkan pihak penggugat yang menolak diadakannya ujian nasional bagi peserta didik.

Next>>>>

Agenda Rahasia dibalik Ujian Nasional

Chanel: Opini

Polemik perlu tidaknya Ujian Nasional (UN) diadakan sebagai penentu kelulusan siswa terus berlangsung di tengah masyarakat, namun UN juga terus berjalan dan memakan korban. Banyak sekolah di beberapa daerah yang tingkat ketidaklulusannya mencapai 100 persen. Para siswa stres dan korban-korban UN pun berjatuhan.

Apakah pemerintah tidak mau mendengar suara rakyat, termasuk juga pendapat para pakar pendidikan? Ataukah pemerintah punya agenda tersendiri dengan diselenggarakannya UN yang menjagal para siswa "tidak beruntung" layaknya alat sortir otomatis? Seperti pabrik yang mempunyai mesin sortir untuk menyingkirkan produk yang tidak memenuhi standar, dan meloloskan produk yang sempurna untuk diterima pasar?

Jawabannya ada di UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang pada pasal 50 ayat 3 berbunyi pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini pada tahap awalnya berbentuk rintisan atau disebut Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah khusus berbiaya mahal ini dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas lengkap dan mahal, seperti ruangan yang ber-AC, kursi dan meja berkualitas, makan siang untuk para siswa disebabkan jam pelajaran berlangsung sampai sore, sarana audio visual, dan guru-guru dengan kemampuan khusus, serta buku-buku pelajaran tersendiri. Semua ongkos ditanggung oleh orang tua siswa dan dibebankan pada masa pendaftaran di awal tahun ajaran baru. Besarnya biaya bisa mencapai jutaan rupiah. Bisa anda bayangkan, baru rintisan sudah begitu mahal, bagaimana kalau sudah menjadi SBI.

Walaupun UU mengamanahkan paling sedikit hanya satu sekolah bertaraf internasional dalam suatu daerah, namun pertumbuhan RSBI cukup pesat di beberapa kabupaten atau kota tertentu. Diperkirakan karena adanya persaingan gengsi antar sekolah dan juga "bau uang" yang cukup menggiurkan.

Pemerintah - baca oknum - tentu berkepentingan akan hal ini, dan sebagai pelumas untuk melicinkan jalannya pertumbuhan RSBI dibuatkanlah Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. Meskipun menurut PP No.19 Tahun 2005 Pasal 68 disebutkan bahwa hasil UN digunakan sebagai "salah satu pertimbangan" saja untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.

Faktanya kelulusan siswa RSBI dalam menempuh UN tercatat memuaskan, dibanding dengan sekolah dengan kelas reguler. Mungkin sebabnya adalah sekolah lebih memprioritaskan pelayanan pengajaran bagi siswa yang sudah membayar mahal, dan juga untuk tetap menjaga mutu dan gengsi RSBI. Sehingga dengan ini diharapkan nilai jual RSBI juga semakin tinggi, dan orang tua calon siswa berlomba-lomba mendaftarkan anaknya di RSBI pada setiap tahun ajaran baru.

Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=16980

SEKOLAHNYA MANUSIA

Mari belajar mengetahui bagaimana sekolahnya manusia melalui Wawancara Ekslusif. follow this LINK >>>>

ENGLISH IS NOT DIFFICULT

Karena pada awal sudah dijejali dengan penugasan yang kurang diminati siswa, maka kesan yang timbul adalah bahwa pelajaran yang satu ini tidak menarik sama sekali. Selain itu bisa juga diakibatkan karena kurangnya kesiapan, inisiatif serta minimnya kreatifitas guru dalam mengemas materi, sehingga bahasa diajarkan sebagai " the language usage" bukan " the language use". Tanpa perlu menjadi Creator, saat ini cukuplah sebagai Facilitator dan Motivator, ternyata siswa lebih enjoy dalam belajar. please click here : 1. >>>for resource and 2. >>>for online learning Selamat belajar !!!